Pilar paradigma ilmu ekonomi konvensional, yaitu manusia adalah manusia ekonomi rasional, positivisme, dan hukum Say (yaitu hukum Jean Babtis Say yang menyatakan bahwa supply creates its own demand, penawaran menciptakan permintaannya sendiri)
Rasionaliti merupakan “hati” dari ilmu ekonomi konvensional. Pada dasarnya, ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh bahwa perilaku individu adalah pasti rasional.
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Sebenarnya tidak ada sebarang kemusykilan untuk menerima asumsi ini, hanya ada satu masalah yaitu dalam hal mendefinisikan rasionaliti, karena memang hampir semua bidang ilmu sosial mempunyai definisi dan pandangan yang tersendiri tentang rasionaliti. Definisi rasionaliti dari berbagai cabang ilmu sosial mungkin akan berbeda. Misalnya suatu perbuatan yang dianggap rasional menurut seorang pakar psikologi, akan tetapi menurut pakar ekonomi sebagai tidak rasional.
alam kajian ekonomi, rasionaliti merupakan suatu perkataan yang lebih sering dipakai daripada didefinisikan. Kalaulah definisi itu diberikan, biasanya berupa deskripsi tentang pilihan rasional atau perbuatan rasional.
Rasionality assumption dalam ekonomi menurut Roger LeRoy Miller adalah individuals do not intentionally make decisions that would leave them worse off.
Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka.
Bahkan menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang nampak tidak rasional akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti yang kuat, misalnya sikap orang lanjut usia yang tidak mau belajar teknologi baru, orang yang berpacaran dengan menghabiskan waktu dan uang, sikap menolong orang fakir miskin dan sebagainya.
Syarat pilihan rasional adalah bahwa setiap individu mengetahui berbagai informasi secara lengkap tentang alternatif-alternatif dan ia mempunyai kemampuan untuk menyusun skala prioritasnya sesuai dengan preferensinya.
Konsep rasionaliti muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu set constrain.
Constrain dlm ek konvensional dan ekis
Menurut ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan individu rasional adalah tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest)[i] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat.
Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[ii]
Rasionalisme ekonomi mentafsirkan perbuatan manusia itu sesuai dengan sifatnya yang homo economicus, di mana semua perbuatannya senantiasa berdasarkan pada perhitungan terperinci, yang ditujukan untuk mencapai kesuksesan ekonomi. Kesuksesan ekonomi dimaknai sebagai menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Mengejar kekayaan, baik dalam bentuk uang maupun barang ialah tujuan utama dalam kehidupan ini. Pada saat yang sama, ia merupakan ukuran kesuksesan ekonomi. Keberhasilan untuk mendapatkan uang yang banyak diangap sebagai merupakan hasil yang bersumber dari kesungguhan dan keahlian mereka dalam mencapai tujuan tersebut.
Bentuk-Bentuk Rasionaliti
Egoistic Rationality
Bounded Rationality
Altruism
Altruism menjadi sarana untuk mencapai kepuasan maksimum dengan dua cara
1) Perbuatan itu sendiri mengeluarkan (memproduk) utiliti. Beberapa individu mendapatkan utiliti dengan melakukan perbuatan baik, seperti memberikan makanan kepada orang miskin, memberi beasiswa kepada anak yatim, memberikan tempat duduk kepada orang yang hamil atau mengandung ketika dalam angkutan umum dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan tersebut diyakini dapat memproduk utiliti untuk siapa saja yang melakukannya.
2) Beberapa aktivitas bisa membangun reputasi yang baik kepada penyumbang (donor) dalam masyarakat yang selanjutnya bisa menaikkan tingkat jualan atau keuntungannya. Ini artinya seorang individu memaksimalkan utiliti dengan membangun reputasi yang baik dalam masyarakat. Serupa dengan ini adalah doktrin tanggungjawab sosial (doctrine of sosial responsibility), di mana firma melakukan kebajikan sosial untuk meningkatkan image yang baik dalam rangka memaksimalkan keuntungan penjualan.
KRITIK-KRITIK TERHADAP KONSEP RASIONALITI
Asumsi ekonomi konvensional bahwa individu mempunyai informasi yang lengkap adalah tidak tepat, karena realitasnya tidak semua individu mempunyai informasi yang lengkap tetapi mereka mempunyai informasi dan pengetahuan yang terbatas sehingga tidak selamanya bisa membuat keputusan yang rasional dalam rangka memaksimalkan utiliti. Di samping itu, terdapat faktor-faktor yang tidak dapat diprediksi secara rasional. Misalnya dalam pandangan Islam terdapat pilihan yang digalakkan oleh bukan logika manusia akan tetapi logika agama. Contohnya kecenderungan dari produsen untuk memilih keuntungan patut dibanding dengan untung maksimum demi meningkatkan kebajikan konsumen terutama golongan miskin.
Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional.
Rasionaliti keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional ditunjukkan pada perilaku seseorang untuk memenuhi kehendaknya dan kehendak masyarakat sebagaimana ia memenuhi kehendak dirinya sendiri. Kenyataan ini adalah tidak benar karena perilaku seseorang individu adalah berbeda dengan perilaku individu lain dan tidaklah mungkin bisa memenuhi keperluan dan keinginan sendiri apabila keperluan individu itu tidak dipenuhi. Timothy Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens (makhluk bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional memaksimumkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan reduksi yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral/etika.
Menurut Umer Chapra, sebenarnya kalau tujuan-tujuan normatif masyarakat telah ditentukan, tidak bisa ada kebebasan tak terbatas untuk mendefinisikan rasionaliti sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dengan demikian, perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku yang kondusif bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.
Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang “manusia ekonomi” di mana tanggungjawab sosial satu-satunya adalah meningkatkan keuntungannya. Dengan demikian, ilmu ekonomi hanya memperhatikan perilaku rasional manusia ekonomi yang dimotivasi hanya oleh dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dengan cara memaksimumkan kekayaan dan konsumsinya lewat cara apapun. Semua keinginan lain yang membawa manusia bersama-sama seperti kerjasama, saling menyayangi, persaudaraan dan altruisme, di mana orang berjuang untuk kebahagiaan orang lain, sekalipun kadangkala hal itu mesti mengorbankan kepentingan dirinya sendiri, dikesampingkan sama sekali.
Ringkasan Kritik
Terlalu demanding, karena menganggap setiap agen ekonomi pasti memiliki informasi lengkap. Ini tentu anggapan yang tidak realistik. Di samping itu terlalu terbatas, karena memahami self interest secara sangat sempit
Tidak menggambarkan tingkah laku manusia yang sesungguhnya yaitu apa yang diasumsikan oleh ekonomi konvensional tidak mewakili perilaku manusia yang sebenarnya dan mengabaikan sama sekali emosi dan perasan. Clive Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan bersepakat dengan kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang berperasaan selain berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang mengabaikan perasaan (moral/etika) dan spirituality merupakan kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu dengan hanya berdasarkan akal semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.
Pilihan perlu konsisten. Individu diandaikan rasional jika memilih pilihannya yang senantiasa konsisten dan mengabaikan perbedaan cita rasa individu. Di samping itu, dalam setiap pilihannya, setiap individu tidak hanya mempertimbangkan apakah pilihannya itu memenuhi utilitinya, akan tetapi juga mempertimbangkan mestikah memilih pilihan itu. Misalnya, pertanyaannya bukan hanya, “Dapatkah benda ini dibeli?” Tetapi juga “Haruskah minuman keras ini dibeli?”. Oleh karena itu Viktor J. Vanberg menyatakan bahwa karena tidak mungkin mencapai konsisten yang terus menerus dalam pilihan rasional, beliau menyatakan perlu ada sebuah teori yang disebut dengan theory of behavioural adaptation.
Terlalu materalistik. Teori ilmu ekonomi konvensional menganggap manusia senantiasa ingin mancapai keuntungan material yang lebih tinggi sedangkan sebenarnya ada batasan dalam kehendak manusia. Dalam kenyataannya keinginan manusia tidak hanya dibatasi oleh budget constrain/level of income, tingkat harga, atau tingkat modal yang dipunya, tetapi juga oleh hukum, peraturan perundangan, tradisi, nilai-nilai/ajaran agama, nilai moral, dan tanggung jawab sosial.
Rational Islamic Man
1. Menghindarkan diri dari sikap israf (berlebih-lebihan melampaui batas).
2. Keseimbangan antara akhirat dan dunia. Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah)
3. Memperhatikan etika dan norma
Anas Zarqa’:
• Konsumenan yang rasional tidak akan berpuas hati sebelum sampai ke tahap barang kecukupan yang mampu diusahakan, karena akan dihukum bersalah dan dianggap menimbulkan penganiayaan terhadap diri dan keluarga.
• Tidak melebihi garis pembaziran, karena dilarang Islam
• Konsumen tidak menggunakan barang terlarang, karena berkibat buruk di akhirat.
• Bersedia share sebagian dari konsumsinya dengan orang lain atas sikap mematuhi prinsip Islam seperti zakat, sadaqah, infaq
0 komentar:
Post a Comment