Perampokan Negara Secara Sistematis
Gemah ripah loh jinawi. Begitu gambaran Indonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah-ruah. Namun, itu dulu. Kini sebutan itu tak berlaku lagi. Indonesia yang dulunya kaya-raya telah berubah menjadi miskin. Kemiskinan terjadi di mana-mana. Bank Dunia menyebut angka lebih dari 100 juta orang Indonesia miskin. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan pokok pun kita harus mengimpor dari luar negeri.
Mantan Menteri Keuangan era Orde Baru Fuad Bawazier menceritakan, 40 tahun lalu pendapatan perkapita penduduk Indonesia setara dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand, bahkan Cina. Malah Indonesia memiliki kelebihan dalam hal sumberdaya alam. Kini negara-negara yang miskin kekayaan alam itu sudah jauh meninggalkan Indonesia. “Padahal kita lebih semuanya dari mereka. Jadi, kalau mereka semua mampu dalam kondisi yang baik maka seharusnya kita pun bisa,” kata Fuad kepada Al-Wa’ie.
Usut punya usut ternyata kekayaan alam Indonesia telah dirampok oleh negara-negara besar (asing) melalui berbagai kaki tangan dan antek-anteknya di Indonesia. Menurut Fuad, fenomena itu bisa dilihat dari kepemilikan asing di sektor pertambangan, perindustrian, telekomunikasi, keuangan dan sektor-sektor vital seperti air minum. “Rakyatnya miskin, alamnya juga miskin, dibebani utang, aset-asetnya banyak dikuasai oleh asing,” katanya.
Ichsanuddin Noorsy menggambarkan proses perampokan kekayaan itu makin nyata memasuki era reformasi. Setelah Indonesia “memenuhi anjuran” dan mengadopsi model politik Amerika, sumberdaya ekonomi Indonesia—pertambangan, perkebunan, properti— dikuasai, diproduksi dan akhirnya dinikmati oleh pihak asing. “Kondisi ini tidak banyak berbeda saat Indonesia di bawah jajahan VOC, hanya dulu VOC lebih fokus pada hasil bumi (perkebunan) dan mulai beralih ke pertambangan setelah memasuki Abad 20,” kata pengamat ekonomi ini.
Pemerintah, menurut Fuad, terjebak skenario Mafia Berkeley yang bercokol sejak masa lahirnya Orde Baru. “Pembangunan kita itu, dari dulu hingga sekarang, praktis sama, yakni masih diarsiteki oleh rezim Mafia Berkeley. Ganti-ganti Presiden, rezim ekonominya tetap sama. Di mata mereka, Presiden hanya boneka. Rezim ekonominya tidak pernah berubah, praktis tidak tergoyahkan. Rezim pemiskinan ini terus bercokol,” ujarnya.
Bantu Konglomerat, Jual Aset Rakyat
Saat rakyat menghadapi krisis ekonomi pada pertengahan 1997, Pemerintah justru mengucurkan dana yang sangat besar kepada para konglomerat. Pemerintah melalui Dewan Moneter memutuskan agar Bank Indonesia membantu likuiditas bank-bank yang kolaps karena krisis tersebut. Dikucurkanlah dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 144,5 triliun, ditambah Rp 14,447 triliun per 29 Januari 1999, sehingga totalnya menjadi Rp 158,9 triliun. Jumlah ini luar biasa besar sehingga negara harus meminta rakyat untuk ikut memikul masalah bank-bank itu.
Tak berhenti di situ, Pemerintah kemudian menerbitkan setidaknya empat kali Surat Utang Pemerintah (SUP) tahun 1998 sebagai jaminannya senilai Rp 218,31 triliun. Namun, berdasarkan audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terungkap sejumlah penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian dalam mekanisme penyaluran dan penggunaan BLBI. Dari total BLBI yang dikucurkan BI sebesar Rp 144,5 triliun, terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen. Ini artinya, hanya Rp 6,1 triliun yang benar-benar disalurkan BI kepada bank.
Pantas saja, meski sudah disuntik dana besar, bank-bank itu tak sehat juga. Namun, Pemerintah rupanya ogah melikuidasinya, seperti ketika mengikuti kemauan IMF saat melikuidasi 16 bank dalam likuidasi (BDL). Pemerintah justru menyuntiknya lagi dengan dana segar dalam bentuk obligasi rekapitalisasi, yang waktu itu mencapai Rp 400 triliun lebih. Totalnya, ditambah SUP untuk kredit program, mencapai Rp 650 triliun, yang harus dibayar saat jatuh tempo. Adapun bunganya setiap tahun, hampir Rp 60 triliun, selalu dibayar Pemerintah.
“(Dana itu) sangat besar sekali dan itu berkepanjangan. Sebab, anak-cucu kita akan tetap ikut membayar skandal BLBI ini dalam bentuk bunga obligasi yang akan terus dibayar sampai 2030. Sepanjang obligasinya tidak ditarik maka bunganya akan terus dibayar oleh Pemerintah lewat APBN. Jumlahnya kan besar, Rp 400 triliun,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Marwan Batubara.
Pada masa Megawati, tiba-tiba para konglomerat itu memperoleh tanda lunas utang dengan munculnya skema perjanjian yang namanya Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), ada yang disebut Master of Refinancing Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang (APU). Para konglomerat itu tidak perlu bayar utang dengan uang, tetapi dengan penyerahan aset, saham dan lainnya (asset settlement) atau dengan komitmen jaminan pribadi. Kalaupun bayar tunai, tidak lebih dari Rp 1 triliun. Mereka tidak perlu masuk penjara asalkan memenuhi skema perjanjian seperti itu. Artinya, mereka mendapatkan jaminan pembebasan hukum jika semua syarat sudah dipenuhi secara tuntas (R&D). Nyatanya, aset mereka memang bodong. Paling banter mereka hanya mampu mengembalikan 25 persen dari kewajibannya.
Pemerintah juga kehilangan puluhan triliun tiap tahun, termasuk kehilangan triliunan akibat penguasaan tambang emas terbesar di dunia yang berada di Papua. Tahun 2002 keuntungan bersih perusahaan itu adalah Rp 1,27 triliun. Tahun 2003 naik menjadi Rp 1,62 triliun. Tahun berikutnya naik lagi menjadi Rp 9,34 triliun. Keuntungan yang dilaporkan itu—entah yang sebenarnya—larinya ke Amerika karena 81,2 persen sahamnya dikuasai oleh Freeport McMoran. Sisanya milik Pemerintah (9,4 persen), dan Indocooper Investama (9,4 persen). Indocooper ini 100 persen sahamnya juga milik Freeport McMoran.
Walau kontrak Freeport habis pada tahun 1997, tahun 1991 kontrak tersebut diperbaharui dan Freeport mendapat lisensi baru untuk mengelola selama 30 tahun, plus opsi 2 x 10 tahun. Dengan demikian, Freeport berhak bertengger di Bumi Tembagapura secara resmi sampai dengan tahun 2041.
Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono Pemerintah menyerahkan Blok Cepu kepada ExxonMobil dari Amerika Serikat. Padahal potensi emas hitam yang dikandung di dalamnya ditaksir mencapai 10,96 miliar barel minyak, termasuk 62,64 TCF gas. Jika dikalkulasikan secara matematis, diperoleh pendapatan kotor sebesar 165,74 miliar dolar AS atau sekitar 1.500 triliun rupiah.
Ini menambah deretan panjang penjualan aset kekayaan milik rakyat. Setelah Pemerintah gagal menarik aset para penjahat BLBI, sejumlah BUMN dipaksa masuk ke bursa untuk bisa dijual. Padahal BUMN ini bukannya rugi tetapi justru memiliki kinerja baik alias selalu membukukan keuntungan. Pantas saja, begitu masuk ke bursa, saham perusahaan-perusahaan ini langsung dicaplok para investor.
Saat ini sebanyak 85 persen saham BUMN yang sudah melantai di bursa saham dikuasai oleh asing. Sekretaris Menteri Negara BUMN Muhammad Said Didu mengatakan, dengan kepemilikan asing yang besar itu, berarti pihak asinglah yang menikmati sebagian besar keuntungan BUMN yang sudah go public.
Sejumlah BUMN besar yang dikuasai asing dan selalu membukukan keuntungan antara lain PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan PT Bukit Asam Tbk. Tahun ini Pemerintah merencanakan menjual lagi 28 BUMN. Belum lagi dari sekitar 200 perusahaan besar di Indonesia yang bergerak di bidang produksi dan distribusi, sebanyak 70 persennya adalah perusahaan asing.
Yang menjadi sasaran privatisasi pada awal tahun 2008 ini adalah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dengan alasan merugi karena harga bahan bakar minyak, Pemerintah mendesak agar PLN dijual/diswastakan saja. Sederet perusahaan lainnya menunggu untuk ‘bersedia’ dijual.
By Design
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie mengatakan, kehancuran ekonomi Indonesia ini akibat kebijakan ekonomi yang salah yang ditelurkan oleh tim ekonomi yang bercokol sejak masa awal Orde Baru. “Kecuali selama Gus Dur menjabat presiden RI, tim ekonomi dalam Kabinet selalu dikuasai oleh para ekonom yang mutlak menghamba pada kartel IMF dengan resep-resep dan instruksi-instruksi kepada para kroni ini yang merusak. Mereka itu terkenal dengan nama Berkeley Mafia,” kata Kwik dalam sebuah tulisannya.
Mereka ini, lanjutnya, menggerojokkan utang luar negeri terus-menerus sampai tidak kuat bayar tepat waktu supaya selalu menjadi pengemis buat penundaan pembayaran. Ketika itu, Pemerintah Indonesia harus dicekik lehernya untuk didikte. “Yang mengatakan ini bukan saya, tetapi orang-orang asing, kebanyakan orang-orang Amerika, yaitu John Pilger, Brad Sampson, Jeffrey Winters, dan John Perkins yang mengaku disuruh merusak ekonomi Indonesia,” katanya.
Kelompok Mafia Berkeley ini dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965). Pembangunan kapasitas intelektual serta jaringan kerjanya merupakan bagian dari strategi Perang Dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia. Kelompok ini disebut dengan istilah “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Program ini dibiayai oleh The Ford Foundation dan The Rockefeller Foundation. Kelompok ini dicekoki teori-teori ekonomi liberal, yang percaya bahwa ekonomi berorientasi pasar adalah jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. Doktrin ini mengajarkan, Indonesia hanya bisa duduk sejajar dengan negara maju lainnya jika mengintegrasikan diri ke dalam sistem Kapialisme global.
Sumitro Djojohadikusumo adalah perintisnya. Berbaris di belakangnya sekitar 40 ekonom. Yang paling terkemuka di antaranya adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, M. Sadli, Subroto, Sudjatmoko, Barli Halim, Rachmat Saleh dan Radius Prawiro. Kaderisasi ini berlanjut dengan memberikan kesempatan akademis dan politis bagi generasi selanjutnya seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Boediono, Sri Mulyani Indrawati, Mohamad Chatib Basri, Mohamad Ikhsan, dan Rizal Malaranggeng.
Selain kapasitas akademik, kelompok Mafia Berkeley ini juga memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti USAID, IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol mafia ini berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional tersebut. Tidak aneh jika produk hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF-Bank Dunia, Policy Pappers USAID atau lembaga kreditor internasional lainnya.
Menurut Fuad Bawazier, rezim ekonomi ini sejak awal tidak pro-rakyat, tetapi pro-para pengusaha. Mereka berharap, dengan munculnya pengusaha akan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sehingga muncul trickle down effect yang bisa dirasakan rakyat. Sayangnya, harapan tak pernah terwujud. Maka ketika krisis, kata Fuad, Pemerintah ‘terpaksa’ memelihara para konglongmerat yang sebelumnya pernah digunakan sebagai kendaraan untuk mengejar pertumbuhan. “Ya, itulah salah satu bukti kesalahan BLBI. Jadi, BLBI hanyalah salah satu karena menyangkut perusahaan-perusahaan konglongmerat yang selama ini dijadikan tunggangan atau andalan Pemerintah dalam ekonomi itu. Lalu ketika dia kesandung masalah, wah…karena mereka sudah jadi sohibi, maka Pemerintah memperhatikan mereka berlebih-lebihan,” katanya.
Mafia Berkeley ini tidak bekerja sendirian. Mereka dibantu lembaga-lembaga donor asing dalam menentukan kebijakan, termasuk mempersiapkan kebijakan perundang-undangan. Munculnya UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air (SDA), UU Penanaman Modal, UU Migas dan lainnya tak lepas dari campur tangan kekuatan asing. Kekuatan neo-liberal ini bekerja secara sistematis, termasuk menciptakan krisis di sejumlah BUMN dengan memasukkan orang-orang pro-liberalisme (kasus Pertamina), penyesatan opini publik seperti privatisasi untuk kemajuan, menciptakan ‘rente’ di sejumlah BUMN, dan sebagainya. Tak segan mereka menggelontorkan jutaan dolar kepada wakil rakyat untuk lahirnya UU yang sesuai dengan keinginan mereka.
Ahmad Daryoko, Ketua Serikat Pekerja PLN Pusat, termasuk yang mengamati bagaimana PLN dirusak. Ia mengutip buku John Perkins, yang mengatakan bahwa Amerika Serikat merusak Indonesia salah satunya melalui kelistrikan. Perkins ditempatkan pertama kali di Indonesia di Kantor PLN distribusi Bandung. Perkins mendesain pertumbuhan ekonomi yang otomatis terkait dengan pertumbuhan kelistrikan yang sangat melejit.
“Offer optimistic. Dia bikin perencanaan, pada tahun 80-an nanti akan terjadi pertumbuhan kelistrikan sebanyak 14 persen, dan seterusnya. Sehingga, mau tidak mau, rezim Suharto meminjam uang ke Bank Dunia untuk mengantisipasi pertumbuhan yang melejit tersebut. Padahal ini kan kerjaannya John Perkins saja. Ditambah lagi, penguasa-penguasa negara-negara berkembang ini otaknya ‘dikooptasi’ dengan utang dan utang saja. Dininabobokkan dengan utang dan kemewahan,” kata Daryoko.
Begitu besarnya utang yang harus ditanggung Indonesia, kata Daryoko, membuat Pemerintah dan generasi komprador asing mengeluarkan kebijakan untuk menswastanisasi PLN sebagaimana dulu pernah diminta oleh IMF dalam LoI. “Jadi, sekali lagi, walau IMF sudah pergi, para komprador asing, yakni para kelompok pedagang-penguasa inilah, yang melanggengkan dan meneruskan ide IMF,” kata Daryoko.
Kalau sampai PLN diswastakan maka yang beruntung adalah para pejabat dan pengusaha. “Kalau sudah menguasai pembangkit Suryalaya, Grati, Tambak Roro, dan yang lain, woo… itu sudah cukup untuk tujuh turunan. Itu baru di sisi pembangkit. Apalagi di distribusi. Di Jakarta saja, misalnya di Bulungan, Cinere, Pondok Indah, Kramatdjati, Menteng, dll. UP-UP yang sangat gemuk-gemuk tersebut saat ini sudah didesain untuk dikuasai oleh para oknum penguasa-pengusaha tadi. Kalau Anda bisa menguasai Thamrin-Sudirman saja, ratusan miliar tiap bulan. Untungnya sangat gede,” ungkap Daryoko.
Akhirnya, patut disimak pengakuan John Perkins. Ia menyebut para korporat jahatlah yang sesungguhnya menjadi penguasa dunia dan biang dari segala kerusakan di dunia. Biasanya aksi para bandit ekonomi dalam melakukan penipuan yang bernilai triliunan itu bekerjasama dengan Bank Dunia; Bank Dunia dan IMF sebagai penyandang dana. Proyek-proyek yang didanai mereka sekilas tampaknya demi kepentingan rakyat miskin, padahal sebenarnya hanya untuk segelintir orang kaya (korporatokrasi). Langkah ini didukung oleh negara melalui para penguasanya. Sungguh menyakitkan!
Sumber : http://www.facebook.com/ext/share.php?sid=87747011572&h=MD4OX&u=HE_vH&ref=nf
5.17.2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment