Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat iman dan Islam kepada kita. Shalawat salam kepada Nabi Muhammad pembawa risalah kebenaran dari-Nya. Allah SWT berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)", (QS Al A’raf[7]: 172).
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa anak Adam, manusia semuanya, pada hakekatnya telah bersaksi dan berkomitmen akan eksistensi Allah SWT, bahwa Dia satu-satunya tuhan yang wajib disembah. Namun dalam perjalanannya di alam syahadah (alam nyata) ini, dengan dibekali akal dan nafsu, dan dipengaruhi gemerlap kehidupan lingkungannya, ia menjadi terlupa dengan janji tersebut, bahkan mengingkarinya (kafir). Sehingga tendensi kehidupannya pun senantiasa menjauh dari pusat kehidupan, yaitu Allah SWT. Dapat dikatakan, hubungan mereka dengan Allah SWT begitu jauh, bahkan hampir terputus sama sekali. Tak heran bila mereka banyak mengidap penyakit ‘kehampaan spiritual’ akibat terputus dari asalnya dan lupa terhadap janji primordialnya (janji di alam azali).
Kita harus bersyukur karena setelah sejak lahir di alam nyata ini, secara de jure kita dihidayahi sebagai seorang yang telah berikrar akan ketauhidan dan ketuhanan-Nya. Sehingga kita tidak perlu lagi ber-ijtihad (baca: susah payah) mencari sosok tuhan seperti kisah Nabi Ibrahim A.S. Apa yang kita lakukan saat ini adalah mengkaji, mendalami dan menterjemahkan filosofi ajaran tauhid Islamiyah. Dengan adanya pemahaman yang benar (haq) dan komprehensif (kaaffah) akan Islam, sehingga Islam mampu menenangkan jiwa kita dan bisa merasa comfort menjalaninya. Kemudian berusaha menegakkan agama Allah agar dapat berdiri kokoh dalam setiap zamannya (shaalih likulli zaman walmakan) dan agama yang menjadi penyelamat dan penebar kasih sayang yang universal (rahmatan lil ‘alamiin), serta menjadi umat yang terbaik (khaira ummah) sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an (Ali-Imran [3]:110 ).
Sebagai seorang muslim, kita diamanahi oleh Allah dengan sebuah syareat agama yang sempurna (kamil). Umat Islam adalah umat yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT. Betapa tidak, kalau kita meruntut historis amalan ibadah sholat kita mendapati bahwa umat Nabi Musa harus menjalankan shalat sebanyak 50 kali sehari, coba kita bandingkan denga kita yang hanya berkewajiban shalat 5 kali dalam sehari. Lalu umat Nabi Musa diwajibkan menyobek pakaian yang terkena najis, sedangkan kita, umat Islam cukup dengan mencucinya dengan air. Banyak sekali keringanan-keringanan dalam syariat Islam yang sangat kontras dari syariat-syariat sebelumnya. Tapi kita sering tidak menyadari keistemewaan ini.
Hakekat Hidup = Syukur dan Sabar
Ontologi kehidupan di dunia ini bagi seorang muslim hanya dua, الشكر والصبر yakni syukur dan sabar. Syukur artinya ketika seorang muslim mendapatkan suatu kebahagiaan, maka ia akan bersyukur. Bersyukur atas nikmat Allah adalah perbuatan yang terpuji dan berpahala di sisiNya. Begitu pula ketika seorang muslim mendapatkan cobaan, maka ia akan bersabar terhadap kemalangan yang menimpanya. Sabar pun mempunyai value ibadah dan diberi pahala di sisiNya. Oleh karena itu dalam filosofi seorang muslim, tidak ada kata “susah”, “sengsara”, dan “tidak enak” dalam kehidupannya. Yang ada adalah “enak (bahagia) dan “ueenaak (bahagia sekali)”. “Enak” memproyeksikan suatu kondisi yang kurang menyenangkan, tetapi ia tetap bersabar dengan takdir dan kehendak Allah. Sehingga kemalangan yang menimpa pun dirasa enak karena ia tahu bahwa itu bernilai ibadah. Kemudian “ueenaak” memproyeksikan suatu kondisi seorang muslim mendapatkan nikmat kebaikan. Dengan nikmat tersebut lalu ia bersyukur, dan secara otomatis akan menambah pundi-pundi pahala baginya. Sungguh ajaib keadaan orang yang mukmin, bagaimanapun keadaan yang dihadapinya semuanya menjadi sebuah kebaikan.
Ada beberapa hadis mengungkapkan, sakit menjadi penghapus kesalahan dan melenyapkan dosa, sakit dikategorikan sebagai cobaan pada diri seseorang. Apakah ia akan bersabar atau sebaliknya.
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW menerangkan hal tersebut, Ibnu Mas’ud mengatakan kepada Rasulullah yang kala itu sedang demam ”Ya Rasulullah, badanmu amat panas”, katanya, Rasul menjawab, “Memang suhuku naik sampai dua kali lipat kalian saat demam, benar begitu, dan juga tidak seorang mukmin pun yang ditempa kesakitasn mulai dari tusukan duri hingga lebih berat dari itu, kecuali Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya seperti seperti kayu yang menggugurkan daunnya”. Jelas Rasulullah.
Artinya penderitaan sakit bagi seorang muslim adalah kaffarah (penebus) kesalahan-kesalahan yang telah lalu. Ia tidak perlu mengeluh dan marah atas musibah yang diderita. Karena ia tahu bahwa dosa-dosanya sedikit demi sedikit akan rontok.
Syukur dan Sabar = Iman
Apabila iman itu satu kesatuan yang utuh, maka syukur adalah separuhnya dan sabar adalah separuh bagian lainnya. Seperti sebuah pernyataan Ibnu Mas’ud r.a:
الإيمان نصفان نصف في الشكر ونصف في الصبر
“Iman itu satu kesatuan, setengahnya ada pada syukur dan setengahnya lagi ada pada sabar”
Artinya segala tindak tanduk seorang muslim mempunyai value, baik dalam posisi mendapatkan anugrah (nikmat) atau mendapatkan susah (niqmat). Kedua-duanya adalah variabel bebas keimanan seorang muslim, yang tentunya mempengaruhi kualitas seseorang.
Menjadi seorang muslim adalah anugerah yang tidak ada duanya bagi diri kita. Karena dengan menjadi seorang muslim kita telah menempatkan langkah right position di kehidupan selanjutnya. Kehidupan seorang muslim selalu mendapatkan stimulus dengan berbagai janji reward dari Allah SWT. Tiada detik, tiada menit, tiada jam, tiada hari yang tidak dijadikan Allah sebagai ladang ganjaran bagi seorang muslim. Sepanjang tahun Allah selalu menyediakan mega reward kepada hambanya yang muslim.
Dari skala paling kecil, dalam setiap minggunya Allah menyiapkan ragam variasi pahala bagi hambanya. Dalam setiap malamnya ada shalat tahajjud dan shalat witir. Dalam setiap harinya ada shalat lima waktu plus do’a-do’a, bacaan alqur’an, shadaqah, menuntut ilmu, zakat, dll. Dalam setiap minggunya ada puasa Senin Kamis dan puasa hari lahir masing-masing. Dalam setiap minggunya ada waktu spesial untuk mendapatkan ‘combo reward’ yaitu fadilah/keutamaan hari Jum’at. Dalam setiap bulannya ada puasa ayyamul bidh (Hari Putih) tanggal 13, 14, dan 15 tiap bulan Qamariyah. Dalam setahun ada bulan penuh ampunan, bulan Ramadhan. Dan banyak lagi hari-hari yang diistemewakan Allah kepada umat Islam, seperti puasa Muharram, Syawal, Zulhijjah, Rajab dll. Begitu isimewa dan indahnya kehidupan seorang muslim, dan yang demikian itu Allah khususkan bagi agama kita, agama Islam.
Demikianlah di antara hikmah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim dalam menjalankan agamanya. Betapa indah menjadi seorang muslim yang mukmin, karena tiada detik yang berlalu dalam kehidupannya, kecuali dengan pahala dan ampunan. Tiada amalan yang dilakukan menjadi sia-sia, karena semua ruang gerak aktifitas seorang muslim dapat ditransformasikan menjadi ladang ibadah baginya. Mari kita laksanakan amalan-amalan tersebut, sehingga kita dapat merasakan manisnya ajaran Islam dan kebenaran janji-janji-Nya. Siapa mendekat kepada-Nya dengan berjalan, maka Allah akan mendekatinya dengan berlari. Siapa yang mendekatinya dengan selangkah, maka Allah mendekatinya dengan seribu langkah. Semoga Allah menjadikan kita hambanya yang selalu pandai bersyukur. Aminn..