Sebagai seorang Indonesia melaksanakan shalat di negara sendiri tentu kita tidak akan mengalami kesulitan. Arah kiblat secara mudah kita ketahui dengan banyaknya masjid di setiap sudut kota. Namun sangat berbeda bila kita pergi ke luar negeri atau bagi seorang muslim yang berada di negara yang jarang penduduk muslimnya seperti di eropa. Lalu bagaimanakah kira-kira menentukan arah kiblat di daerah tersebut?
Menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) dan mengetahui masuknya waktu shalat (al-‘ilm bi dukhul al-waqt) merupakan salah satu syarat sahnya shalat, sehingga shalat tidak sah tanpa memenuhi kedua hal tersebut. Namun demikian, ketentuan tersebut tidaklah mutlak harus dilaksanakan dalam segala keadaan. Agama Islam adalah agama yang sangat fleksibel, karena sangat memperhatikan kondisi umatnya dalam melaksanakan segala ketentuan yang ada. Allah SWT dengan segala kasih-sayangNya tidak akan membebankan suatu ketentuan di luar kemampuan untuk melaksanakannya. Oleh karenanya dalam keadaan tertentu, ketentuan syariah yang sudah ada dapat berubah hukumnya. Termasuk dalam kasus ini.
Pada mulanya, ketentuan syariat menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya shalat adalah menghadap kiblat, yakni mengarahkan badan ke arah ka’bah, sebagaimana dalil-dalil berikut:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram (QS. al-Baqarah[2]: 149)
عن ابى هريرة قال دخل رجل المسجد ورسول الله صلى الله عليه وسلم جالس في ناحية المسجد فصلى ثم جاء فسلم عليه فقال وعليك السلام ارجع فصل فانك لم تصل فرجع فصلى ثم جاء فسلم عليه فقال له مثل ذلك فقال له في الثالثة فعلمني يا رسول الله قال إذا قمت إلى الصلوة فاسبغ الوضوء واستقبل القبلة وكبر ثم اقرأ ما تيسر من القرآن ثم اركع حتى تطمئن راكعا ثم ارفع رأسك حتى تعتدل قائما ثم اسجد حتى تطمئن سجادا ثم ارفع حتى تطمئن قاعدا ثم اسجد حتى تطمئن ساجدا ثم اقعد حتى تطمئن قاعدا ثم افعل كذلك في كل ركعة وسجدة
“Abu Hurairah r.a. berkata: seorang laki-laki masuk ke dalam masjid, sedang rasulullah s.a.w. sedang duduk-duduk di salah satu bagian masjid. Kemudian orang tersebut bergegas shalat. Setelah shalat ia menghampiri rasulullah s.a.w. sambil mengucapkan salam, setelah menjawab salam rasulullah bersabda: “ulangi shalatmu, karena kamu belum shalat (secara sempurna)”, kemudian orang tersebut mengulangi shalatnya. Kejadian tersebut berlangsung sampai tiga kali. Kemudian ia berkata: “wahai rasul, ajari saya (shalat yang sempurna)”. Kemudian beliau menjelaskan: “jika kamu mendirikan shalat, maka sempurnakan wudhu, kemudian menghadap kiblat, lalu takbir, kemudian bacalah apa yang kamu hafal dari qur’an, lalu ruku’ sampai sempurna, kemudian i’tidal sampai sempurna, kemudian sujud sampai sempurna, kemudian duduk di antara dua sujud sampai sempurna, kemudian sujud sampai sempurna, lakukanlah yang demikian itu setiap rekaat”
Namun demikian, ketika ketentuan tersebut sulit untuk dilakukan, misalnya karena tidak tahunya arah kiblat secara tepat sebagaimana yang dialami, maka dalam hal ini ketentuan tersebut boleh untuk tidak dilaksanakan. Namun sebelumnya terlebih dahulu harus dilakukan usaha untuk mencari tahu tentang arah kiblat yang benar, misalnya bertanya kepada orang yang dapat dipercaya, berusaha mendapatkan kompas yang ada petunjuk arah kiblatnya, atau kalau waktu shalat sudah hampir habis, cukup dengan mengira-ira arah kiblat yang diyakini benar. Upaya yang dilakukan tersebut dinamakan ijtihad. Kemudian shalatlah dengan menghadap kiblat sebagaimana hasil ijtihad tersebut. Walaupun ternyata arah tersebut tidak mengarah ke kiblat secara benar, akan tetapi shalatnya tetap dianggap sah, berdasarkan hadis rasul s.a.w.:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ".رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَوَّاهُ الْبُخَارِيُّ .
“Abu Hurairah r.a. berkata: rasulullah s.a.w. bersabda: “antara arah timur dan arah barat adalah kiblat”. HR. Tirmidzi dan Bukhari.
Kewajiban untuk melakukan ijtihad dengan berusaha untuk mengetahui arah kiblat ketika tidak mengetahuinya, juga pernah dilakukan oleh para sahabat dan nabi s.a.w, sebagaimana hadis berikut :
وَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : "كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ ، فَأَشْكَلَتْ عَلَيْنَا الْقِبْلَةُ ، فَصَلَّيْنَا . فَلَمَّا طَلَعَتْ الشَّمْسُ إذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا إلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ ، فَنَزَلَتْ { فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ } " أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَهُ
“Amir bin Rabiah r.a. berkata: “suatu ketika kami para sahabat bersama nabi s.a.w. di suatu tempat yang sangat gelap sekali hingga kami tidak mengetahui arah kiblat, kemudian kami shalat. Ketika terbit matahari, ternyata shalat yang telah kami laksanakan tidak menghadap kiblat, kemudian turun ayat (yang artinya) “di mana kamu menghadap, di situlah “wajah” Allah”. HR. Tirmidzi
Walaupun hadis tersebut lemah (dha’if) tapi para ulama menjadikannya sandaran untuk menetapkan hukum sahnya shalat dengan tidak menghadap kiblat, ketika tidak diketahui arah kiblat. Misalnya al-imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab sbb:
إذا لم يعرف الغائب عن أرض مكة القبلة ولم يجد محرابا ولا من يخبره على ما سبق لزمه الاجتهاد في القبلة ويستقبل ما أدى إليه اجتهاده
“Jika orang yang berada jauh dari ka’bah tidak mengetahui arah kiblat, dan tidak menemukan mihrab (untuk dijadikan pedoman arah kiblat), dan juga tidak menemukan orang yang dapat memberitahu arah kiblat, maka ia harus melakukan ijtihad, yaitu berusaha mengira-ira arah kiblat, kemudian melaksanakan shalatnya dengan menghadap kiblat hasil ijtihadnya tersebut”.
Dengan keterangan tersebut, menjadi jelaslah bahwa sebelum mengetahui arah kiblat yang benar tetap diharuskan untuk melakukan usaha (ijtihad) sampai mendapatkan arah kiblat dengan tanpa keraguan. Ketika telah diketahui arah kiblat secara benar, dan ternyata tidak sesuai dengan ijtihad anda selama ini, maka shalat yang telah lalu tetap dianggap sah dan tidak wajib mengulangi shalat tersebut.
http://www.mui.or.id/